A.
Pengertian Lingkungan Hidup
Hamparan laut biru yang
luas, dataran, bukit-bukit, pegunungan, langit yang biru yang disinari
matahari, semuanya merupakan lingkungan alam. Lingkungan hidup mencakup
lingkungan alam yang meliputi lingkungan fisik, biologi, dan budaya.
Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 4 tahun 1982 yang
disempurnakan dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 pasal 1
menyebut pengertian lingkungan hidup sebagai berikut.
“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.”
Lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud dalam
undang-undang tersebut merupakan suatu sistem yang meliputi lingkungan alam
hayati, lingkungan alam nonhayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial.
Semua komponen-komponen lingkungan hidup seperti benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup berhimpun dalam satu wadah yang menjadi tempat berkumpulnya
komponen itu disebut ruang.
Pada ruang ini berlangsung ekosistem, yaitu suatu
susunan organisme hidup dimana diantara lingkungan abiotik dan organisme
tersebut terjalin interaksi yang harmonis dan stabil, saling memberi dan
menerima kehidupan.
Interaksi antara berbagai komponen tersebut ada kalanya
bersifat positif dan tidak jarang pula yang bersifat negatif. Keadaan yang
bersifat positif dapat terjadi apabila terjadi keadaan yang mendorong dan
membantu kelancaran berlangsungnya proses kehidupan lingkungan.
Cara mengambil hasil hutan agar tetap terjaga
kelesteriannya misalnya dengan sistem tebang pilih yaitu pohon yang ditebang
hanya pohon yang besar dan tua, agar pohon-pohon kecil yang sebelumnya
terlindungi oleh pohon besar, akan cepat menjadi besar menggantikan pohon yang
ditebang tersebut.
B.
Arti Penting Lingkungan Hidup Bagi Kehidupan
Bumi ini diwariskan dari
nenek moyang kita dalam keadaan yang sangat berkualitas dan seimbang. Nenek moyang
kita telah menjaga dan memeliharanya bagi kita sebagai pewaris bumi
selanjutnya, sehingga kita berhak dan harus mendapatkan kualitas yang sama
persis dengan apa yang didapatkan nenek moyang kita sebelumnya. Bumi adalah
anugerah yang tidak ternilai harganya dari Tuhan Yang Maha Esa karena menjadi
sumber segala kehidupan. Oleh karena itu, menjaga alam dan keseimbangannya
menjadi kewajiban kita semua secara mutlak tanpa syarat.
Masyarakat jaman dahulu telah menyadari benar bahwa
lingkungan hidup merupakan bagian kehidupannya. Dari catatan sejarah diketahui
bahwa pada abad ke-7, masyarakat di Indonesia sudah membentuk suatu bagian yang
bertugas mengawasi hutan, yang hampir sama fungsinya dengan jabatan sekarang
yang disebut dengan Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Masyarakat
seperti ini sering kita sebut masyarakat tradisional.
Kawasan hutan mereka bagi menjadi beberapa bagian,
ada yang boleh digarap yang disebut hutan rakyat, ada pula yang boleh diambil
hasil hutannya dengan syarat harus terlebih dahulu menggantinya. Kawasan hutan
ini sering disebut hutan masyarakat yang berfungsi sebagai hutan produksi. Akan
tetapi, ada pula hutan yang tidak boleh digarap sama sekali. Hutan yang tidak
boleh digarap ini merupakan hutan adat. Kawasan hutan adat ini sangat tertutup,
dan masyarakatnya percaya bahwa hutan inilah yang menjaga wilayah mereka dari
segala bencana alam.
Pada hutan masyarakat, pohon boleh ditebang untuk
keperluan masyarakat, akan tetapi sebelum ditebang harus menanam terlebih
dahulu pohon yang sama jenisnya di samping pohon yang akan ditebang sehingga
mereka tetap mewariskan lingkungan alam yang sama terhadap anak cucunya. Hal
ini menunjukkan betapa baiknya mereka menjaga lingkungan untuk diteruskan
kepada generasi yang akan datang.
Perkembangan jumlah penduduk yang cepat serta
perkembangan teknologi yang makin maju, telah mengubah pola hidup manusia. Bila
sebelumnya kebutuhan manusia hanya terbatas pada kebutuhan primer dan sekunder,
kini kebutuhan manusia telah meningkat kepada kebutuhan tersier yang tidak
terbatas. Kebutuhan manusia tidak hanya sekedar kebutuhan primer untuk dapat
melangsungkan kehidupan seperti makan dan minum, pakaian, rumah, dan kebutuhan
sekunder seperti kebutuhan terhadap pendidikan, kesehatan, akan tetapi telah meningkat
menjadi kebutuhan tersier yang memungkinkan seseorang untuk memilih kebutuhan
yang tersedia. Kebutuhan tersier telah menyebabkan perubahan yang besar
terhadap pola hidup manusia menjadi konsumtif.
Bagi yang mampu, semua kebutuhan dapat dipenuhi sekaligus,
dan bagi yang memiliki kemampuan terbatas harus memilih sesuai kemampuannya.
Akan tetapi, semua orang yang telah tersentuh oleh kemajuan jaman akan berusaha
mendapatkannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak sekedar terpenuhi
akan tetapi selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan.
C.
Bentuk-bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup dan Faktor Penyebabnya
Meningkatnya jumlah penduduk
serta kebutuhan tersier yang semakin banyak sebagai akibat perkembangan
teknologi yang pesat, telah menyebabkan tekanan terhadap sumber daya alam dan
lingkungan semakin berat. Jumlah penduduk dunia yang sekarang telah lebih dari
6 miliar jiwa, tidak hanya memerlukan kebutuhan primer dan sekunder, akan
tetapi juga memerlukan kebutuhan tersier dalam jumlah besar. Pertumbuhan
penduduk dalam jumlah besar, telah banyak mengubah lahan hutan menjadi lahan
permukiman, pertanian, industri, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan luas
lahan hutan terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun, terutama di
negara-negara miskin dan negara berkembang. Demikian pula kebutuhan tersier
yang terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun kualitasnya,
menyebabkan industri-industri berkembang dengan pesat. Perkembangan industri
yang pesat, membutuhkan sumber daya alam berupa bahan baku dan sumber energi
yang sangat besar pula. Sebagai akibatnya, sumber-sumber bahan baku dan energi
terus dikuras dalam jumlah besar. Cadangan sumber daya alam di alam semakin
merosot, hutan-hutan semakin rusak karena banyaknya pohon yang diambil untuk
kebutuhan bahan baku industri, apalagi bila tidak diimbangi dengan usaha
reboisasi akan menimbulkan bencana pencemaran terhadap udara, air, dan tanah,
yang akhirnya menganggu kehidupan manusia.
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia
tahun 1972 di Stockholm (Swedia), telah mengangkat masalah lingkungan hidup
tidak hanya menyangkut masalah suatu negara akan tetapi merupakan masalah
dunia. Konferensi yang diadakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm,
diikuti oleh 113 negara dan puluhan peninjau, merupakan pertemuan besar dan
sangat penting bagi masa depan lingkungan hidup manusia. Dari salah satu hasil
konferensi Stockholm itu, dibentuklah satu badan PBB yang menangani
masalah-masalah lingkungan yang disebut “United Nations Environment Programme”
atau UNEF. Konferensi juga menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan
Hidup Sedunia”.
Peningkatan karbon dioksida (CO2) di
udara menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca adalah alih bahasa dari
Greenhouse effect. Greenhouse adalah rumah atau bangunan yang atap dan
dindingnya terbuat dari kaca, hanya rangkanya terbuat dari besi atau kayu.
Rumah ini bukan untuk tempat tinggal tetapi digunakan oleh petani di daerah
dingin atau subtropik untuk bercocok tanam. Walaupun suhu di luar sangat dingin
pada musim gugur dan musim dingin, tetapi di dalam rumah kaca udaranya tetap
hangat sehingga tanaman di dalamnya tetap hijau. Suhu udara yang hangat di
dalam rumah kaca walaupun pada musim gugur dan musim dingin dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Radiasi sinar matahari pada siang hari menembus kaca
masuk ke dalam rumah kaca. Radiasi sinar matahari yang diterima benda dan
permukaan rumah kaca dipantulkan kembali berupa sinar infra merah. Tetapi
pantulan tersebut tertahan oleh dinding dan atap kaca sehingga panas yang dapat
keluar dari rumah kaca itu hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar
terkurung di dalam rumah kaca. Akibatnya udara di dalam rumah kaca menjadi
hangat walaupun di luar udaranya sangat dingin.
Di permukaan bumi yang berfungsi sebagai atap kaca
adalah gas-gas yang ada di atmosfer. Atmosfer bumi mengandung berbagai macam
gas dan partikel-partikel berupa benda-benda padat seperti debu. Di antara
berbagai gas di udara, yang berfungsi sebagai gas rumah kaca antara lain karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), gas nitrogen, ozon (O3),
Klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain. Di antara gas-gas tersebut yang paling
dominan berfungsi sebagai rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2)
yang disebut pula dengan gas rumah kaca.
Perkembangan industri yang begitu pesat, telah
mengganggu keseimbangan gas karbon dioksida di udara. Pembakaran minyak tanah,
bensin, solar, batu bara, untuk menggerakkan pabrik-pabrik. Demikian pula
kendaraan bermotor yang menggunakan bensin atau solar sebagai bahan bakar,
pembakaran lahan dan kebakaran hutan, dan tain-lain, telah menambah jumlah
karbon dioksida di udara.
Gas rumah kaca sebenarnya sangat diperlukan dalam
mengatur suhu di permukaan bumi, yaitu menyerap dan memantulkan kembali sinar
matahari. Bila gas ini tidak ada di udara beserta dengan gas-gas lainnya yang
berfungsi sebagai gas rumah kaca maka sinar matahari yang diterima bumi akan di
pantulkan semuanya ke ruang angkasa sehingga pada malam hari suhu di permukaan
bumi sangat dingin, dan pada siang hari sangat panas sekali seperti di bulan
sehingga tidak dapat dijadikan tempat tinggal.
Masalah gas rumah kaca muncul karena kegiatan
manusia semakin banyak menghasilkan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida.
Menurut hasil penelitian para ahli, semakin banyak gas karbon dioksida
dilepaskan ke udara dari hasil kegiatan manusia, akan semakin mempercepat
kenaikan suhu di permukaan bumi. Kenaikan suhu di permukaan bumi akan
mempengaruhi iklim di bumi, dan akan berdampak negatif pada kehidupan di muka
bumi.
Suhu global (secara keseluruhan) rata-rata meningkat
0,6 °C. Hal ini berpengaruh pula terhadap iklim global yaitu iklim di seluruh
permukaan bumi.
Kenaikan suhu di permukaan bumi menyebabkan lapisan
es yang berada di kutub banyak yang mencair, dan pada akhirnya dapat
menenggelamkan kawasan-kawasan yang rendah seperti dataran-dataran pantai, dan
pulau-pulau yang rendah.
Peningkatan gas karbon dioksida yang terus
berlangsung, dan tanpa ada tindakan manusia untuk menguranginya, diramalkan 100
tahun yang akan datang suhu bumi akan naik antara 3°-4°C. Kenaikan suhu sebesar
ini akan menyebabkan perubahan iklim yang cukup berarti, dan akan disertai pula
dengan berbagai bencana alam seperti angin badai, naiknya permukaan laut,
mencairnya es di puncak-puncak gunung dan es di kutub, punahnya flora dan fauna
yang tidak tahan terhadap perubahan, dan sebagainya.
Permasalahan pemanasan global seperti diuraikan di
atas, tentunya sangat mengkhawatirkan dunia Internasional. Untuk membicarakan
hal ini, diadakan “Konvensi Perubahan Iklim” (United Nations Frame Work
Convention on Climate Change) di Kota Kyoto (Jepang) pada tahun 1997 yang
dihadiri oleh 170 negara untuk membahas pembatasan-pembatasan gas-gas penyebab
efek rumah kaca. Pada sidang tersebut, para ilmuwan PBB melaporkan bahwa
pemanasan global akan meningkatkan penyakit, mengakibatkan kegagalan panen, dan
meningginya permukaan laut.
Pada waktu kebakaran hutan secara meluas di
Indonesia beberapa waktu yang lalu telah terjadi emisi gas karbon dioksida
terbesar yang dihasilkan dari kebakaran tersebut.
Kita harus ingat istilah “Hanya Satu Bumi”, yang
berarti bumi tidak membedakan apakah emisi gas karbon dioksida itu berasal dari
negara A atau B, dari negara maju atau negara berkembang, tetapi yang jelas
peningkatan gas karbon dioksida terjadi di bumi.
Pertemuan Kyoto merupakan langkah awal untuk
mengurangi polusi karbon dioksida di udara dengan mengurangi penggunaan bahan
bakar seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, yang disebut dengan bahan bakar
fosil dan menggantikannya dengan bahan bakar yang dapat diperbarui, misalnya
sumber energi yang berasal dari tenaga surya dan angin. Selain itu,
pabrik-pabrik yang menggunakan energi fosil perlu diganti dengan pabrik-pabrik
baru yang berteknologi tinggi, yang lebih bersih terhadap lingkungan.
Permasalahannya sekarang adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan
pengurangan gas rumah kaca tersebut sangat besar sekali, mencapai ratusan
bahkan ribuan miliar dollar. Suatu nilai yang sangat menakjubkan.
Untuk mengurangi gas rumah kaca, diperlukan dana
yang sangat besar. Kendaraan-kendaraan bermotor yang selama ini menggunakan
bahan bakar minyak atau gas, bila diganti dengan energi lain menyebabkan harga
kendaraan menjadi sangat mahal sehingga konsumen akan keberatan. Hal ini merupakan
kendala utama untuk menuju program langit biru, yaitu program yang menjadikan
udara bersih dari polusi, masih jauh dari harapan.
Masalah lingkungan hidup sebenarnya tidak hanya pada
emisi gas karbon dioksida. Permasalahan lingkungan hidup cukup kompleks.
Penebangan hutan yang menyebabkan banjir, pencemaran terhadap air oleh
limbah-limbah industri, pembuangan sampah ke dalam sungai (termasuk sampah
rumah tangga), pencemaran terhadap tanah, dan sebagainya, merupakan ancaman
bagi kehidupan manusia.
Ancaman banjir setiap musim hujan di berbagai
belahan dunia termasuk di Indonesia, adalah akibat dari perbuatan manusia
sendiri yang menebang hutan untuk mengejar keuntungan sesaat. Berbagai wilayah
di Indonesia setiap musim hujan dilanda banjir dan tanah longsor, baik kota
maupun luar kota.
Penataan ruang kota yang kurang memperhatikan dampak
lingkungan, serta kehancuran hutan-hutan di daerah tangkapan air, menjadi
penyebab utama banjir di Jakarta.
Penanggulangan banjir seperti di Jakarta dan
kota-kota lainnya, tidak hanya diperlukan penataan di dalam kota seperti
pembuatan saluran pembuangan air dan tempat penampungan air, akan tetapi daerah
tangkapan air hujan di daerah hulu sungai perlu di tata kembali, hutan-hutan
yang rusak perlu direhabilitasi.
Luas hutan di Pulau Jawa telah berada jauh di bawah
luas hutan yang ideal yaitu ± 40% dari luas wilayah. Luas hutan di Jawa Barat
(termasuk Provinsi Banten) hanya tinggal 21%, Jawa Tengah 20%, Jawa Timur 28%,
rata-rata luas hutan di Pulau Jawa tinggal 23%. Demikian pula halnya hutan di
pulau-pulau lainnya seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain,
kerusakan hutan terus bertambah luas karena faktor manusia. Satwa-satwa yang
ada di dalam hutan hidupnya semakin terancam dan merana karena habitat mereka yang
merupakan tempat hidupnya telah dirusak oleh manusia untuk memperoleh
keuntungan.
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia
yaitu sekitar 3,5 juta hektar dari total luas hutan mangrove dunia sebesar 15
juta hektar. Tetapi luasnya terus mengalami kemerosotan karena telah berubah
fungsi. Hutan mangrove yang berfungsi sebagai benteng terhadap abrasi (kikisan
air laut), serta tempat hidup dan bertelur berbagai jenis ikan laut, banyak
yang telah berubah fungsi menjadi tambak-tambak ikan, dan kepentingan-kepentingan
lainnya. Kayu-kayu di hutan mangrove ditebangi untuk dijual dan dijadikan kayu
arang. Akibatnya kerusakan hutan bakau yang terus meningkat tidak terhindarkan.
Di pantai utara Pulau Jawa diperkirakan 90% telah rusak, demikian pula halnya pada
pantai-pantai lainnya walaupun belum seberat kerusakan hutan bakau di Pantai
Utara Jawa.
Malapetaka alam seperti intrust (penyusupan) air
laut ke daratan, abrasi dan banjir sulit dihindari. Demikian pula kegiatan
masyarakat pantai yang menangkap udang, ikan, kepiting, dan lain-lain, akan
semakin sulit akibat rusaknya lingkungan hutan mangrove.
Tindakan-tindakan manusia di atas telah menimbulkan
dampak yang sangat buruk bagi lingkungan, dan pada akhirnya akan memberikan
dampak buruk pula terhadap manusia sendiri.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan berbagai faktor
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, akan menimbulkan berbagai dampak
yang sangat merugikan dan mengganggu kehidupan manusia. Flora dan fauna akan
banyak yang punah, meningkatnya penyakit pada manusia, penurunan hasil panen,
kemarau yang berkepanjangan. Atau sebaliknya, curah hujannya sangat tinggi yang
menimbulkan banjir besar, kekeringan air pada musim kemarau, rusaknya terumbu
karang, dan sebagainya.
Manusia harus sadar betapa pentingnya arti
lingkungan hidup bagi kehidupan. Keserakahan yang menyebabkan rusaknya
lingkungan hidup harus dibayar dengan sangat mahal.
D.
Bentuk-bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup yang Disebabkan oleh Proses Alam dan
Kegiatan Manusia
1.
Kerusakan Lingkungan Hidup oleh Faktor Alam
Kerusakan lingkungan yang
disebabkan faktor alam pada umumnya merupakan bencana alam seperti letusan
gunung api, banjir, abrasi, angin puting beliung, gempa bumi, tsunami, dan
sebagainya. Indonesia sebagai salah satu zona gunung api dunia, sering
mengalami letusan gunung api akan tetapi pada umumnya letusannya tidak begitu
kuat sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya terbatas di daerah
sekitar gunung api tersebut, seperti flora dan fauna yang tertimbun arus lumpur
(lahar), awan panas yang mematikan, semburan debu yang menimbulkan polusi
udara, dan sebagainya.
Banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang sangat
tinggi, diikuti pula dengan kerusakan hutan yang semakin meluas. Banjir yang
sering pula disertai dengan tanah longsor telah menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan kehidupan.
Kerusakan lingkungan hidup di tepi pantai disebabkan
oleh adanya abrasi yaitu pengikisan pantai oleh air laut yang terjadi secara
alami. Untuk menyelamatkan pantai dari kerusakan akibat abrasi, perlu dibangun
tanggul-tanggul pemecah ombak yang berfungsi sebagai penahan abrasi di tepi
pantai.
Angin tornado di Amerika Serikat, akan menimbulkan
kerusakan lingkungan seperti tumbangnya pohon-pohonan, banyak rumah-rumah dan
tanaman yang rusak, jaringan listrik yang putus, dan sebagainya.
Gempa bumi adalah kekuatan alam yang berasal dari
dalam bumi, menyebabkan getaran terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi sering
terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Gempa bumi yang lemah
tidak menimbulkan kerusakan pada lingkungan, tetapi bila gempa yang terjadi
sangat kuat, akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar.
2.
Kerusakan Lingkungan Hidup yang Disebabkan oleh Kegiatan Manusia
Kerusakan lingkungan yang
disebabkan kegiatan manusia jauh lebih besar dibandingkan dengan kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh proses alam. Kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan manusia berlangsung secara terus menerus dan makin
lama makin besar pula kerusakan yang ditimbulkannya. Kerusakan lingkungan yang
disebabkan kegiatan manusia terjadi dalam berbagai bentuk seperti pencemaran,
pengerukan, penebangan hutan untuk berbagai keperluan, dan sebagainya.
Limbah-limbah yang dibuang dapat berupa limbah cair
maupun padat, bila telah melebihi ambang batas, akan menimbulkan kerusakan pada
lingkungan, termasuk pengaruh buruk pada manusia. Salah satu contoh kasus
pencemaran terhadap air yaitu “Kasus Teluk Minamata” di Jepang. Ratusan orang
meninggal karena memakan hasil laut yang ditangkap dari Teluk Minamata yang
telah tercemar unsur merkuri (air raksa). Merkuri tersebut berasal dari
limbah-limbah industri yang dibuang ke perairan Teluk Minamata sehingga kadar
merkuri di teluk tersebut telah jauh di atas ambang batas.
Kasus-kasus pencemaran perairan telah sering terjadi
karena pembuangan limbah industri ke dalam tanah, sungai, danau, dan laut.
Kebocoran-kebocoran pada kapal-kapal tanker dan pipa-pipa minyak yang
menyebabkan tumpahan minyak ke dalam perairan, menyebabkan kehidupan di tempat
itu terganggu, banyak ikan-ikan yang mati, tumbuh-tumbuhan yang terkena
genangan minyak pun akan musnah pula.
Pengerukan yang dilakukan oleh perusahaan
pertambangan seperti pertambangan batu bara, timah, bijih besi, dan lain-lain
telah menimbulkan lubang-lubang dan cekungan yang besar di permukaan tanah
sehingga lahan tersebut tidak dapat digunakan lagi sebelum direklamasi.
Penebangan-penebangan hutan untuk keperluan
industri, lahan pertanian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya telah menimbulkan
kerusakan lingkungan kehidupan yang luar biasa. Kerusakan lingkungan kehidupan
yang terjadi menyebabkan timbulnya lahan kritis, ancaman terhadap kehidupan
flora, fauna dan kekeringan.
No comments:
Post a Comment