A. Sejarah Perkembangan Ilmu Manajemen
Banyak
kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen. Namun diketahui bahwa
ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan
dengan adanya piramida
di Mesir.
Piramida tersebut dibangun oleh lebih dari 100.000 orang selama 20 tahun.
Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang—tanpa memedulikan
apa sebutan untuk manajer ketika itu—yang merencanakan apa yang harus
dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan
para pekerja, dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala
sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Piramida di Mesir. Pembangunan
piramida ini tak mungkin terlaksana tanpa adanya seseorang yang merencanakan,
mengorganisasikan dan menggerakan para pekerja, dan mengontrol pembangunannya.
Praktik-praktik
manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an di kota Venesia,
Italia,
yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdagangan di sana. Penduduk
Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis dan melakukan banyak
kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat ini. Sebagai contoh, di
gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal dan pada
tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan ke kapal tersebut.
Hal ini mirip dengan model lini perakitan (assembly line) yang
dikembangkan oleh Henry Ford untuk merakit mobil-mobilnya. Selain
lini perakitan tersebut, orang Venesia memiliki sistem penyimpanan dan
pergudangan untuk memantau isinya, manajemen sumber daya manusia untuk
mengelola angkatan kerja, dan sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan
biaya.
Daniel Wren
membagi evolusi pemikiran manajemen dalam empat fase, yaitu pemikiran awal, era
manajemen sains, era manusia sosial, dan era moderen.
Pemikiran awal manajemen
Sebelum abad
ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen. Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith
menerbitkan sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam
bukunya itu, ia mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi
dari pembagian kerja (division of labor), yaitu perincian pekerjaan ke
dalam tugas-tugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri
pabrik peniti sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang—masing-masing
melakukan pekerjaan khusus—perusahaan peniti dapat menghasilkan kurang lebih
48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri
menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila mereka mampu
menghasilkan sepuluh peniti sehari. Smith menyimpulkan bahwa pembagian kerja
dapat meningkatkan produktivitas dengan (1) meningkatnya keterampilan dan
kecekatan tiap-tiap pekerja, (2) menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian
tugas, dan (3) menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga
kerja.
Peristiwa
penting kedua yang memengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi
Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan
mesin, menggantikan tenaga manusia, yang berakibat pada pindahnya kegiatan
produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang disebut pabrik. Perpindahan
ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu membutuhkan teori yang dapat
membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan
baku, memberikan tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan
lain-lain, sehingga ilmu manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.
Era manajemen ilmiah
Era ini ditandai dengan berkembangan
perkembangan ilmu manajemen dari kalangan insinyur—seperti Henry Towne, Frederick Winslow
Taylor, Frederick A.
Halsey, dan Harrington Emerson Manajemen ilmiah, atau dalam bahasa
Inggris disebut scientific management, dipopulerkan oleh Frederick Winslow
Taylor dalam bukunya yang berjudul Principles of Scientific Management pada
tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor
mendeskripsikan manajemen ilmiah adalah "penggunaan metode ilmiah untuk
menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan." Beberapa
penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai
tahun lahirya teori manajemen modern.
Henry Gantt yang pernah bekerja bersama Taylor di
Midvale Steel Company menggagas ide bahwa seharusnya seorang mandor mampu
memberi pendidikan kepada karyawannya untuk bersifat rajin (industrious ) dan kooperatif. Ia juga mendesain sebuah grafik untuk membantu manajemen
yang disebut sebagai Gantt chart yang digunakan untuk merancang dan mengontrol pekerjaan.
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan
lebih jauh oleh pasangan suami-istri Frank dan Lillian Gilbreth. Keluarga Gilbreth berhasil menciptakan micromotionyang dapat mencatat setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja dan lamanya
waktu yang dihabiskan untuk melakukan setiap gerakan tersebut.
Era ini juga ditandai dengan hadirnya
teori administratif, yaitu teori mengenai apa yang dilakukan oleh para manajer
dan bagaimana cara membentuk praktik manajemen yang baik. Pada awal abad ke-20, seorang industriawan Perancis bernama Henri Fayol mengajukan gagasan lima fungsi utama
manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi, dan
mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan
sebagai kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan terus berlangsung hingga sekarang. Selain itu, Henry Fayol juga mengagas 14 prinsip manajemenyang
merupakan dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti dari keberhasilan sebuah
manajemen.
Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosilogi Jerman Max Weber. Weber menggambarkan suatu tipe ideal organisasi
yang disebut sebagai birokrasi—bentuk organisasi yang
dicirikan oleh pembagian kerja, hierarki yang didefinisikan dengan jelas,
peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah hubungan yang impersonal.
Namun, Weber menyadari bahwa bentuk "birokrasi yang ideal" itu tidak
ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi tersebut dengan maksud
menjadikannya sebagai landasan untuk berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat
dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya tersebut menjadi contoh desain
struktural bagi banyak organisasi besar sekarang ini.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada
tahun 1940-an ketika Patrick Blackett melahirkan ilmu riset operasi, yang merupakan kombinasi dari teori statistika
dengan teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal dengan "Sains
Manajemen", mencoba pendekatan sains untuk menyelesaikan masalah dalam
manajemen, khususnya di bidang logistik dan operasi. Pada tahun 1946, Peter F. Drucker—sering disebut sebagai Bapak Ilmu
Manajemen—menerbitkan salah satu buku paling awal tentang manajemen terapan:
"Konsep Korporasi" (Concept of the Corporation). Buku ini
muncul atas ide Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian tentang organisasi.
Era manusia sosial ditandai dengan
lahirnya mahzab perilaku (behavioral school) dalam pemikiran manajemen
di akhir era manajemen ilmiah. Mahzab perilaku tidak mendapatkan pengakuan luas
sampai tahun 1930-an. Katalis utama dari kelahiran mahzab perilaku adalah
serangkaian studi penelitian yang dikenal sebagai eksperimen
Hawthrone.
Eksperimen Hawthrone dilakukan pada tahun
1920-an hingga 1930-an di Pabrik Hawthrone milik Western Electric Company Works di Cicero, Illenois.Kajian ini awalnya bertujuan mempelajari pengaruh
berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap produktivitas kerja. Hasil
kajian mengindikasikan bahwa ternyata insentif seperti jabatan, lama jam kerja,
periode istirahat, maupun upah lebih sedikit pengaruhnya terhadap output
pekerja dibandingkan dengan tekanan kelompok, penerimaan kelompok, serta rasa
aman yang menyertainya. Peneliti menyimpulkan bahwa norma-norma sosial atau
standar kelompok merupakan penentu utama perilaku kerja individu.
Kontribusi lainnya datang dari Mary Parker Follet.
Follett (1868–1933) yang mendapatkan pendidikan di bidang filosofi dan ilmu
politik menjadi terkenal setelah menerbitkan buku berjudul Creative Experience pada tahun 1924.[9] Follet mengajukan suatu filosifi bisnis
yang mengutamakan integrasi sebagai cara untuk mengurangi konflik tanpa kompromi atau dominasi. Follet juga percaya bahwa tugas seorang pemimpin
adalah untuk menentukan tujuan organisasi dan mengintegrasikannya dengan tujuan
individu dan tujuan kelompok. Dengan kata lain, ia berpikir bahwa organisasi harus
didasarkan pada etika kelompok daripada individualisme. Dengan demikian,
manajer dan karyawan seharusnya memandang diri mereka sebagai mitra, bukan
lawan.
Pada tahun 1938, Chester Barnard
(1886–1961) menulis buku berjudul The Functions of the
Executive yang menggambarkan sebuah teori organisasi
dalam rangka untuk merangsang orang lain memeriksa sifat sistem koperasi.
Melihat perbedaan antara motif pribadi dan organisasi, Barnard menjelaskan
dikotonomi "efektif-efisien".
Menurut Barnard, efektivitas berkaitan
dengan pencapaian tujuan, dan efisiensi adalah sejauh mana motif-motif individu
dapat terpuaskan. Dia memandang organisasi formal sebagai sistem terpadu di
mana kerjasama, tujuan bersama, dan komunikasi merupakan elemen universal,
sementara pada organisasi informal, komunikasi, kekompakan, dan pemeliharaan
perasaan harga diri lebih diutamakan. Barnard juga mengembangkan teori
"penerimaan otoritas" didasarkan pada gagasan bahwa bos hanya
memiliki kewenangan jika bawahan menerima otoritas itu.
B. Pendekatan Manajemen Modern
Era modern ditandai dengan hadirnya
konsep manajemen kualitas total (total quality management—TQM)
di abad ke-20 yang diperkenalkan oleh beberapa guru manajemen, yang paling
terkenal di antaranya W. Edwards Deming (1900–1993) and Joseph Juran (lahir
1904).
Deming, orang Amerika,
dianggap sebagai Bapak Kontrol Kualitas di Jepang.[9] Deming berpendapat bahwa kebanyakan
permasalahan dalam kualitas bukan berasal dari kesalahan pekerja, melainkan
sistemnya. Ia menekankan pentingnya meningatkan kualitas dengan mengajukan
teori lima langkah reaksi berantai. Ia berpendapat bila kualitas dapat
ditingkatkan, (1) biaya akan berkurang karena berkurangnya biaya perbaikan,
sedikitnya kesalahan, minimnya penundaan, dan pemanfaatan yang lebih baik atas
waktu dan material; (2) produktivitas meningkat; (3) market share meningkat
karena peningkatan kualitas dan harga; (4) profitabilitas perusahaan peningkat
sehingga dapat bertahan dalam bisnis; (5) jumlah pekerjaan meningkat. Deming
mengembangkan 14 poin rencana untuk meringkas pengajarannya tentang peningkatan
kualitas.
Kontribusi kedua datang dari Joseph
Juran.[9] Ia menyatakan bahwa 80 persen cacat
disebabkan karena faktor-faktor yang sebenarnya dapat dikontrol oleh manajemen.
Ia merujuk pada "prinsip pareto." Dari teorinya, ia
mengembangkan trilogi manajemen yang memasukkan perencanaan, kontrol, dan
peningkatan kualitas. Juran mengusulkan manajemen untuk memilih satu area yang
mengalami kontrol kualitas yang buruk. Area tersebut kemudian dianalisis,
kemudian dibuat solusi, dan diimplementasikan.
Pendekatan kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah penggunaan sejumlah teknik kuantitatif seperti statistik, model optimasi, model informasi,
atau simulasi komputer—untuk
membantu manajemen dalam mengambil keputusan. Sebagai contoh, pemrograman
linear digunakan para manajer untuk membantu mengambil kebijakan pengalokasian
sumber daya; analisis jalur kritis (Critical
Path Analysis) dapat digunakan untuk membuat penjadwalan kerja yang lebih
efesien; model kuantitas pesanan ekonomi (economic order quantity model)
membantu manajer menentukan tingkat persediaan optimum; dan lain-lain.
Pengembangan kuantitatif muncul dari pengembangan solusi matematika dan
statistik terhadap masalah militer selama Perang Dunia
II. Setelah perang berakhir, teknik-teknik
matematika dan statistika yang digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan
militer itu diterapkan di sektor bisnis. Pelopornya adalah sekelompok perwira
militer yang dijuluki "Whiz Kids." Para perwira yang
bergabung dengan Ford Motor Company pada pertengahan
1940-an ini menggunakan metode statistik dan model kuantitatif untuk
memperbaiki pengambilan keputusan di Ford.
No comments:
Post a Comment